SUDAH lama dan berpanjang lebar orang membicarakan bagaimana sebuah
permainan sepakbola bisa baik, berkualitas tinggi. Bahkan, dalam konteks
nasional, Indonesia pernah kebingungan mencari jawaban itu. Berbagai
pelatih atau instruktur didatangkan dari Brasil, Jerman, Belanda dan
sebagainya. Namun, toh sepakbola Indonesia tak pernah memuaskan, bahkan
tekesan mengalami kemunduran.
Dari pengalaman upaya Tim Nasional Indonesia untuk membangun sebuah
permainan sepakbola yang baik itu, sebenarnya ada kesimpulan yang bisa
diambil. Kesimpulan itu adalah, selama ini Indonesia hanya mencoba
mengkarbit kemampuan sepakbolanya dengan mendatangkan pelatih berkelas
dari luar negeri. Indonesia tidak pernah membangun kultur atau budaya
sepakbola secara baik. Dengan kata lain, upaya PSSI selama ini lebih
membuat produk instan daripada membangun kultur dimaksud.
Pelatih berkualitas, teori dan teknik sebenarnya bukan barang sulit
untuk dimiliki. Elemen-elemen itu ada dalam textbook, atau bahkan sudah
di luar kepala seiring dengan meluasnya popularitas sepakbola. Indonesia
termasuk gudangnya komentator. Bahkan, seorang abang becak pun bisa
berbicara tentang sepakbola secara teoritis dan analitis.
Sebab itu, seperti halnya sebuah kehidupan, sepakbola membutuhkan
kultur. Artinya, sepakbola harus menjadi kebiasaan atau tradisi yang
melibatkan daya upaya, hasrat jiwa, interaksi berbagai unsur dan
berproses secara wajar dan jujur, bertahap dan hidup.
Untuk membangun kultur sepakbola itu, jawaban terbaik adalah membangun
kompetisi yang baik pula. Lewat kompetisi, tradisi sepakbola lengkap
dengan segala elemennya akan berproses dan berkembang ke arah yang lebih
baik. Akan lebih baik lagi kompetisi itu terbangun sejak pelakunya
masih kecil, tanpa rekayasa dan manipulasi. Pada gilirannya, tradisi itu
akan melahirkan sebuah permainan indah dan berkualitas, serta memiliki
bentuk dan ciri khasnya tersendiri. Itu sebabnya, kenapa sepakbola
Brasil, Belanda, Inggris, Jerman dan Italia tidak hanya berkualitas,
tapi juga punya gaya khasnya sendiri- sendiri.
Dalam konteks kecil dan lokal, Persatuan Sepakbola Sleman (PSS), sadar
atau tidak, sebenarnya telah membangun sebuah kultur sepakbolanya
melalui kompetisi lokal yang rutin, disiplin dan bergairah. Berdiri
tahun 1976, PSS termasuk perserikatan yang muda jika dibandingkan dengan
PSIM Yogyakarta, Persis Solo, Persib Bandung, Persebaya Surabaya, PSM
Makassar, PSMS Medan, Persija dan lainnya.
Namun, meski muda, PSS mampu membangun kompetisi sepakbola secara
disiplin, rutin dan ketat sejak pertengahan tahun 1980-an. Kompetisi itu
tak bernah terhenti sampai saat ini. Sebuah konsistensi yang luar
biasa. Bahkan, kompetisi lokal PSS kini dinilai terbaik dan paling
konsisten di Indonesia. Apalagi, kompetisi yang dijalankan melibatkan
semua divisi, baik divisi utama, divisi I maupun divisi II. Bahkan,
pernah PSS juga menggelar kompetisi divisi IIA.
Maka, tak pelak lagi, PSS kemudian memiliki sebuah kultur sepakbola yang
baik. Minimal, di Sleman telah terbangun sebuah tradisi sepakbola yang
meluas dan mengakar dari segala kelas. Pada gilirannya, tak menutup
kemungkinan jika suatu saat PSS mampu menyuguhkan permainan fenomenal
dan khas.
Ini prestasi luar biasa bagi sebuah kota kecil yang berada di bawah
bayang-bayang Yogyakarta ini. Di Sleman tak ada sponsor besar, atau
perusahaan-perusahaan raksasa yang bisa dimanfaatkan donasinya untuk
mengembangkan sepakbola. Kompetisi itu lebih berawal dari kecintaan
sepakbola, tekad, hasrat, motivasi dan kemauan yang tinggi. Semangat
seluruh unsur #penonton, pemain, pelatih, pengurus dan pembina #terlihat
begitu tinggi.
Meski belum optimal, PSS akhirnya menuai hasil dari tradisi sepakbola
mereka. Setidaknya, PSS sudah melahirkan pemain nasional Seto
Nurdiantoro. Sebuah prestasi langka bagi DIY. Terakhir, pemain nasional
dari DIY adalah kiper Siswadi Gancis. Itupun ia menjadi cadangan
Hermansyah. Yang lebih memuaskan, pada kompetisi tahun 1999/2000, PSS
berhasil masuk jajaran elit Divisi Utama Liga Indonesia (LI).
Perjalanan PSS yang membanggakan itu bukan hal yang mudah. Meski lambat,
perjalanan itu terlihat mantap dan meyakinkan. Sebelumnya, pada
kompetisi tahun 1990-an, PSS masih berada di Divisi II. Tapi, secara
perlahan PSS bergerak dengan mantap. Pada kompetisi tahun 1995/96, tim
ini berhasil masuk Divisi I, setelah melewati perjuangan berat di
kompetisi-kompetisi sebelumnya.
Dengan kata lain, PSS mengorbit di Divisi Utama LI bukan karena
karbitan. Ia melewatinya dengan proses panjang. Kasus PSS menjadi contoh
betapa sebuah kulturisasi sepakbola akan lebih menghasilkan prestasi
yang mantap daripada produk instan yang mengandalkan ketebalan duit.
Dan memang benar, setelah bertanding di kompetisi Divisi Utama, PSS
bukanlah pendatang baru yang mudah dijadikan bulan- bulanan oleh tim-tim
elit. Padahal, di Divisi Utama, PSS tetap menyertakan pemain produk
kompetisi lokalnya. Mereka adalah M Iksan, Slamet Riyadi, Anshori, Fajar
Listiantoro dan M Muslih. Bahkan, M Ikhsan, Slamet Riyadi dan Anshori
merupakan pemain berpengaruh dalam tim.
Pada penampilan perdananya, PSS langsung mengagetkan insan sepakbola
Indonesia. Di luar dugaan, PSS menundukkan tim elit bergelimang uang,
Pelita Solo 2-1.
Bahkan, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono sendiri yang saat itu
berada di Brunei Darussalam dalam rangka promosi wisata juga kaget.
Kepada Bupati Sleman Ibnu Subianto yang mengikutinya, Sri Sultan
mengatakan, "Ing atase cah Sleman sing ireng-ireng biso ngalahke
Pelita." Artinya, anak-anak Sleman yang hitam-hitam itu (analog orang
desa) kok bisa mengalahkan tim elit Pelita Solo.
Saat itu, Ibnu Subianto menjawab, "Biar hitam nggak apa- apa tho pak,
karena bupatinya juga hitam." Ini sebuah gambaran betapa prestasi PSS
memang mengagetkan. Bahkan, gubernur sendiri kaget oleh prestasi
anak-anaknya. Akan lebih mengagetkan lagi, jika Sri Sultan tahu proses
pertandingan itu. Sebelum menang, PSS sempat ketinggalan 0-1 lebih dulu.
Hasil ini menunjukkan betapa permainan PSS memiliki kemampuan dan
semangat tinggi, sehingga tak minder oleh tim elit dan tak putus asa
hanya karena ketinggalan. Berikutnya, tim cukup tua Gelora Dewata
menjadi korbannya. Bahkan, di klasemen sementara, PSS sempat bertengger
di urutan pertama.
Ketika tampil di kandang lawan, Malang United dan Barito Putra, PSS juga
tak bermain cengeng. Bahkan, meski akhirnya kalah, PSS membuat tuan
rumah selalu was-was. Sehingga, kekalahan itu tetap menjadi catatan
mengesankan. Maka, tak heran debut PSS itu kemudian menjadi perhatian
banyak orang. Hanya dalam sekejap, PSS sudah menjadi tim yang ditakuti,
meski tanpa bintang.
Pembinaan sepakbola ala PSS ini akan lebih tahan banting. Sebab itu,
terlalu berlebihan jika menilai PSS bakal numpang lewat di Divisi Utama.
Dengan memiliki tradisi sepakbola yang mantap dan mapan, tak menutup
kemungkinan jika PSS akan memiliki kualitas sepakbola yang tinggi.
Bahkan, bukan hal mustahil jika suatu saat PSS bisa juara LI.
Apa yang terjadi di Sleman sebenarnya mirip dengan yang terjadi di
Bandung dengan Persib-nya dan di Surabaya dengan Persebaya-nya. Di kedua
kota itu, kompetisi lokal juga berjalan dengan baik, bahkan sepakbola
antarkampung (tarkam) pun kelewat banyak. Maka tak heran jika sepakbola
di Bandung dan Surabaya sangat tangguh dan memiliki ciri khas
tersendiri. Oleh karena itu, jika tradisi sepakbola di Sleman bisa
dipertahankan bahkan dikembangkan, tak menutup kemungkinan PSS akan
memiliki nama besar seperti halnya Persib atau Persebaya. Semoga!
source:http://www.slemania.or.id/tentang_pss/
Cara Membuat Flashdisk Menjadi RAM di Windows 7